Senin, 10 Oktober 2011
Robertus Robet: Masih adakah Indonesia?
Atas nama krisis, konflik, kasus-kasus korupsi, kebobrokan para politisi
dan kekerasan primordial serta seluruh keterbelakangan yang mungkin
bisa dideret satu demi satu di Indonesia, banyak orang melalui opini,
wawancara, dan diskusi-diskusi mengajukan pertanyaan yang sedikit
berlebihan, tetapi sah dan perlu dijawab, yakni: Masih adakah Indonesia?
Soal di balik pertanyaan ini tentu serius. Ia mau menunjuk pada semacam
kontradiksi antara Indonesia sebagai cita-cita dan Indonesia sebagai
kenyataan yang sehari-hari terjadi. Kalau para politisi, birokrat, dan
pengusaha ramai-ramai menggunakan politik dan jabatan publik untuk
memperkaya diri dan golongan mereka, maka jelas Indonesia terkubur dalam
kejahatan itu. Kalau orang atas nama suku, etnis, agama, dan aliran
politik menekan yang lain, maka jelas Indonesialah yang terlindas di
sana. Kalau kaum miskin di desa-desa, digiring – sebagian dengan tipu
daya – ke bangsal-bangsal perbudakan modern sebagai TKI-TKI yang tanpa
perlindungan negara, maka orang bertanya di mana Indonesia. Singkat
kata, di hadapan segala masalah, pertanyaan apa dan di mana Indonesia
adalah pertanyaan fundamental yang sah dan perlu dijawab hari-hari
belakangan ini.
Namun demikian, apabila kita mau jujur, selain para bandit yang maling
duit negara, para bromocorah pelaku kekerasan, dan para bigot yang
membenci keragaman, mereka yang mengajukan pertanyaan ‘masih adakah
Indonesia’ sesungguhnya juga sumber dari masalah. Di mana letak
masalahnya? Koruptor, bigot, dan politisi bobrok memang benar telah
melukai kebersamaan kita sebagai Indonesia. Namun, mereka yang oleh
karena kebingungan dengan masalah di atas dan malah bertanya ‘di mana
Indonesia’ juga menjadi sumber masalah. Mengapa? Karena dengan
mengajukan pertanyaan itu, mereka terlihat mengambil jarak dengan
Indonesia sendiri. Pertanyaan mereka mengukuhkan posisi seakan-akan
mereka sendiri bukan bagian atau bukan Indonesia!
Saya mau mengatakan bahwa di masa kini, kritik, marah bahkan umpatan
sudah diterima sebagai bagian inheren, bahkan bagian alamiah dari
demokrasi. Artinya, kalau cuma mengritik dan marah, kita tidak akan
memberikan apa-apa kepada demokrasi. Kita hanya mengulang-ulang saja
fasilitas yang terberi di dalam demokrasi. Kita tidak akan mengubah apa
pun dari dunia.
Di dalam demokrasi, setiap kemarahan atau kritik yang dilandasi dengan
perasaan enggan atau berjarak dari persoalan sesungguhnya hanya menambah
tumpukan segala masalah, persis karena ia tidak mengubah apa pun pada
realitas.
Tulisan ini tentu tidak bermaksud untuk menentang kritik dan melarang
orang marah! Sebaliknya, yang mau ditawarkan adalah ajakan untuk
bergerak lebih jauh dari sekadar kritik, maki-maki dan marah: berbuat
dan mengajukan alternatif-alternatif di dalam demokrasi! Di dalam
demokrasi kita harus bisa menjawab pertanyaan: Kalau Anda sekalian tidak
menyukai keadaan sekarang, kalau keadaan tidak berlangsung seperti yang
Anda harapkan, apa yang Anda lakukan untuk mengubah keadaan itu?
Berangkat dari posisi ini, maka sebenarnya kita bisa dengan mudah
menjawab pertanyaan mengenai “Masih adakah Indonesia?” Indonesia
bukanlah entitas atau dunia “di luar sana” yang sama sekali terpisah
dari diri kita. Kita sendiri adalah (bagian dari) Indonesia. Oleh
karenanya, mengenai ada atau tidaknya Indonesia, mau ke mana Indonesia,
bukan bergantung pada jawaban yang datang dari suara-suara besar di luar
sana. Untuk sebagian, jawaban mengenai ‘Apakah Indonesia masih ada?’
justru ada dan tergantung pada sikap setiap kita.
Indonesia masih ada, apabila setiap kita mau bertindak sebagai
Indonesia. Indonesia akan bertahan, apabila kita memang mau bertindak
“di dalam” dan untuk Indonesia. Eksistensi Indonesia mensyaratkan
keterlibatan dan tindakan. Dengan kata lain, Indonesia pada dasarnya
adalah sebuah undangan yang terbuka, ia hanya bisa memunculkan dirinya,
apabila kita masuk dalam perayaannya: dalam suka, dalam keringat dan air
mata
Label:
Indonesia
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
- Aku (1)
- Century (9)
- IMF (1)
- Indonesia (8)
- Perempuan (1)
- SMI-Keadilan (1)
- Sri Mulyani (7)
Entri Populer
-
Pada akhirnya ambisi-ambisi politik itu tak terkendalikan lagi. Mereka yang hendak memupuk harta dan mereka yang hendak mewariskan ta...
-
"Indonesia memerlukan pemimpin baru yang berintegritas, yang dapat menepati janji merawat republik ini, sesuai cita-cita kemerdekaan.” ...
-
Tiga survei tentang elektabilitas calon presiden 2014 dua pekan lalu. Tiga-tiganya datang dengan hasil berbeda. Kelirukah metodologinya? ...
-
Pada Tgl 26 Agustus 2011, Bertepatan dengan hari ulang tahun ibu Sri Mulyani Indrawati, SMI-Keadilan mengadakan sebuah Lomba Karya Tulis, d...
-
Kenapa bank Century Harus Diselamatkan Tuahta Aloysius Saragih Krisis financial dan ekonomi bias menjalar. Memiliki contagion effect ...
Blog Archive
-
▼
2011
(14)
-
▼
Oktober
(10)
- Rocky Gerung: Ambisi Hitam
- Robertus Robet: Masih adakah Indonesia?
- Catatan Panjang Century Part 7
- Catatan Panjang Century Part 6
- Catatan Panjang Century Part 5
- Catatan Panjang Century Part 4
- Catatan Panjang Century Part 3
- Catatan Panjang Century Part 2
- Catatan Panjang Century Part 1
- Sri Mulyani Symbol Perlawananku
-
▼
Oktober
(10)
Domain.com Gratis
About Me
- Unknown
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan pesan nya :D