Kamis, 29 September 2011

SRI MULYANI INDRAWATI SAJA

Pada Tgl 26 Agustus 2011, Bertepatan dengan hari ulang tahun ibu Sri Mulyani Indrawati, SMI-Keadilan mengadakan sebuah Lomba Karya Tulis, dengan tema "KENAPA IBU SMI HARUS JADI PRESIDEN', Banyak nya pasrtisipasi dari masyarakat menunjukan betapa begitu banyak nya alasan, kenapa Ibu SMI harus jadi presiden, untuk mengikuti dan membaca artikel para peserta selengkapnya bisa di lihat di Facebook Group Sri Mulyani For President, dan ini adalah Artikel dari pemenang Lomba.


Saya harus memilih Sri Mulyani Indrawati sebagai presiden karena begitu banyak alasan yang bisa saya kemukakan dalam sekali bicara. Tapi akan sangat panjang ceritanya jika semua itu harus saya ajukan di sini lengkap dengan argumentasinya. Maka untuk membuatnya menjadi ringkas, saya memilih untuk mengajukan hanya beberapa alasan yang saya harapkan cukup provokatif untuk menarik perhatian dan cukup sederhana untuk menjadi bahan bahasan. Berikut alasan saya.

Sri Mulyani Indrawati adalah seorang ekonom

Ekonom profesional bukanlah pengusaha. Jiwa entrepreneurship adalah elan yang bagus untuk memajukan sebuah bangsa, setidaknya jika kita mengacu pada teori modernisme klasik ala McClelland. Tapi di tingkat pengurusan negara dalam konteks yang lebih makro, seorang pengusaha bukanlah yang sepantasnya menjadi presiden, setidaknya untuk masa dua puluh hingga tiga puluh tahun ke depan. Ada ruang lain bagi mereka untuk membangun bangsa yang memang kita butuhkan saat ini, seperti juga ada ruang untuk para jurnalis, seniman dan dokter hewan.

Persoalan terdalam bangsa ini sesungguhnya bermuara pada pembangunan ekonomi. Ketersediaan lapangan pekerjaan, efisiensi ekonomi, pengejaran tingkat pendapatan per kapita, problem peningkatan produk domestik bruto, dan upaya melakukan investasi produktif merupakan hal-hal yang perlu diprioritaskan dalam mengatur bangsa dan negara ini. Tidak hendak mengabaikan pentingnya berbagai persoalan non-ekonomi, namun untuk melihat bahwa dengan menjadi presiden yang berarti meraup kesempatan selama maksimal sepuluh tahun untuk menyelesaikan problem yang terentang sepanjang berabad ke hari kemarin dan berabad ke hari esok, maka membuat prioritas adalah sesuatu yang sangat masuk diakal untuk kita lakukan sekarang. Dalam menentukan prioritas inilah, saya memikirkan problem ekonomi sebagai yang harus mendapatkan perhatian utama.

Jika prioritasnya adalah persoalan ekonomi, maka kita membutuhkan orang yang memahami itu dan memahami pilihan kebijakan ekonominya (ideologi, kreativitas serta integritas sebagai ekonom), untuk memimpin kita. Logika untuk ini sangat sederhana, tentu saja kita tidak akan memilih seorang nahkoda yang memahami jalur laut antartika untuk memimpin kafilah yang akan melintasi padang pasir. Seorang kawan berargumen bahwa jika itu adalah persoalannya, kenapa kita tidak melihat kemungkinan bahwa seorang politisi atau pengusaha atau mantan jenderal bisa juga menjadi presiden dan tinggal memilih wakilnya yang ekonom dan/atau menteri-menteri ekonom profesional dengan tingkat mumpunitas yang tinggi.

Sejarah telah menjawab hal ini dulu dan sekarang. Kita pernah punya Soeharto yang, setidaknya, pada masa awal karirnya sebagai presiden dibantu oleh para ekonom profesional yang mumpuni dalam menemukan prioritas pembangunannya. Kita juga baru saja dan pada saat ini dipimpin oleh seorang presiden yang secara cerdas dan mengejutkan memilih wakilnya seorang ekonom profesional yang mumpuni dan beberapa menteri bidang ekonomi yang juga profesional dan mumpuni. Tapi apakah ada yang sungguh-sungguh berhasil. Mestinya ada dan tidak saya pungkiri. Tapi kita tahu, presiden kita yang dulu maupun yang sekarang pada akhirnya tidak bisa melakukan semacam isolasi prioritas problem yang memungkinkan mereka menyelamatkan prioritas itu dari riuh rendah permasalahan non-prioritas yang terang harus mereka carikan solusinya juga. Akibatnya kita melihat bagaimana para ekonom itu serta pekerjaan mereka hanya menjadi bagian yang tidak lebih penting dari pembangunan yang kehilangan (atau keliru menentukan dan menjaga) prioritas.

Ambil contoh main-main jika komposisi presiden dan wakilnya sekarang kita balik. Seorang ekonom, dalam hal ini Boediono, yang menjadi presiden dan wakilnya, mantan jenderal Susilo Bambang Yudhoyono, mungkin saya akan berani bertaruh bahwa dengan membuat asumsi ceteris paribus bagi variabel penting lainnya, pembangunan kita akan menjadi “sedikit” lebih baik dari apa yang bisa kita capai saat ini. Tapi tentu saja, persoalannya seringkali justru terletak pada variable yang telah kita ceteris paribuskan itu, seorang ekonom yang pantas menjadi pemimpin bangsa dan negara, dalam kasus kita, harus juga seorang yang memang bisa memimpin bangsa ini dalam arti yang paling luas dari kata pemimpin.

Sri Mulyani Indrawati adalah seorang ekonom profesional yang saking mumpuni dalam bidangnya hingga membuat banyak anak bangsa di negeri ini harus meragukan kecerdasan sesama saudaranya sebangsa, bahkan terjebak untuk merendahkan, tanpa sadar, kapasitas anak bangsa ini untuk mendapatkan pengakuan dari dunia internasional. Menanggapi terpilihnya Sri Mulyani Indrawati sebagai managing director Bank Dunia, banyak dari kita yang mengajukan argumen sinis seperti ini.

“Dia pasti antek Barat, kalau tidak, tidak mungkin dipilih untuk jabatan yang begitu besar dan membutuhkan orang yang begitu cerdas dan profesional.”

“Astaghfirullahal ‘adhiim, kata seorang ustadz ibtidaiyah di kampung saya, kalau itu argumennya berarti dia tidak percaya bahwa orang Indonesia bisa cerdas hingga memperoleh pengakuan internasional.”

Lepas dari argumen antek-antekan yang dibingkai oleh teori konspirasi dengan bungkus (yang tampak sedikit lebih canggih) berupa teori imperialisme kapitalis Barat ini, saya ingin mengatakan bahwa, sebagai ekonom profesional, Sri Mulyani Indrawati telah menunjukkan kapasitas dan kapabilitasnya yang jauh melampaui batasan akademis dan kebangsaan. Tapi karena menjadi seorang presiden adalah memangku sebuah jabatan politis dengan segala resiko untuk bisa memahami “bahasa tubuh” kekuasaan, maka perlu saya tambahkan di sini bahwa Sri Mulyani Indrawati adalah ekonom profesional yang sangat memahami tarian kekuasaan yang harus dia negosiasikan dengan para politisi aliran putih, serta kongkalingkong politik yang harus dia hindari dengan para politisi aliran hitam (yang gemar makan bangkai dan sayangnya paling banyak menghuni gedung DPR dan DPRD sepanjang sejarah bangsa kita).

Sedikit pembuktian untuk itu bisa kita temukan dalam informasi terbuka soal penolakan Sri Mulyani Indrawati dalam kapasitasnya sebagai menteri keuangan, untuk menegosiasikan pengemplangan utang seorang pengusaha yang menjadi politisi hitam (atau bisa dibaca terbalik: seorang politisi hitam yang meneruskan usaha bapaknya). Serta yang masih hangat bagaimana dia harus berhadapan dengan para politisi hitam dalam kasus Bank Century yang berusaha untuk melakukan kriminalisasi atas kebijakannya bersama Boediono dalam melakukan bail out. Namun pada saat yang sama, dia berhasil juga melakukan negosiasi yang bersih dan terhormat dengan para politisi aliran putih yang juga mengurusi kasus itu. Jangan salah sangka, saya tidak menganggap semua politisi yang bersikap anti-bail out dalam pansus Century sebagai politisi hitam dan saya tidak hendak mengatakan bahwa semua politisi yang bersikap pro-bail out sebagai politisi putih.

Bukti-bukti kinerja Sri Mulyani Indrawati dalam menghadapi para politisi aliran putih dan hitam ini, serta menunjukkan pemahamannya yang fasih terhadap tarian kekuasaan ini bisa ditemukan pada banyak berita. Dan sebagai catatan tambahan untuk bagian ini, perlu ditekankan bahwa saya tidak sedang melakukan ekonomisasi terhadap problem bangsa dan negara kita. Saya hanya mengajukan gagasan mengenai ekonomi yang dalam segala masalahnya adalah hal yang harus menjadi prioritas seorang pemimpin saat ini. Itulah kenapa saya melihat pencalonan ekonom Faisal Basri sebagai gubernur DKI Jakarta sebagai sesuatu yang harus dan penting dan, moga-moga, berhasil. Itulah juga kenapa dalam beberapa hal, secara objektif harus saya akui bahwa pemerintahan sekarang sesungguhnya telah memiliki visi atas hal ini, persoalannya hanyalah seperti main-main saya tadi, komposisi pasangan presiden dan wakilnya keliru.

Sri Mulyani Indrawati adalah seorang perempuan

Saya termasuk laki-laki non-feminis yang melihat pentingnya perempuan menjadi presiden di republik ini untuk beberapa sebab. Yang terpenting di antaranya adalah kepercayaan saya bahwa  kebanyakan konflik horizontal, kekerasan, premanisme relijius dan berbagai masalah sejenis yang terjadi di republik ini terjadi oleh sebab hilangnya “kepekaan” pemimpin terhadap masalah mendasar yang dialami rakyat banyak. Masalah itu adalah kurangnya perhatian dan kasih sayang. Dalam tingkat yang sungguh-sungguh bersifat afektif, seorang pemimpin laki-laki kurang bisa diharapkan untuk memiliki kepekaan semacam ini.

Ketika melompat ke ranah politik, setiap orang akan dibebani dengan semacam pragmatisme (tidak dalam arti yang pejoratif dari kata ini) untuk melakukan yang terbaik demi kekuasaan. Beban pragmatisme ini biasanya akan “melatih” penggerusan kepekaan sang politisi. Dalam bahasa sederhana, dia harus terbiasa tega. Laki-laki dengan segala tanggungjawab yang telah dibebankan padanya oleh sistem sosial dan budaya, mau tidak mau, berada paling muka dalam soal tega menega ini. Maka bisa kita bayangkan bersama betapa ausnya “kepekaan” seorang laki-laki setelah dia memasuki wilayah politik.

Saya kira Susilo Bambang Yudhoyono memiliki cukup kualitas feminin dalam sifat kepemimpinannya. Tapi sebagai seorang laki-laki mantan jenderal yang memasuki wilayah politik Indonesia saat ini, kita tidak perlu merasa heran bagaimana feminitas itu berjalan salah arah dalam menghadapi konflik serta permasalahan seperti di atas. Terakhir beliau menunjukkan kasih sayang dan perhatiannya atas masyarakat Ambon yang sedang bermasalah dengan mengirim pasukan bersenjata. Atau menunjukkan kasih sayangnya terhadap para perusuh berkalung sorban yang meneror orang-orang berbeda paham dengan memberi mereka hukuman lemah lembut yang sungguh mencengangkang dan menghina akal sehat.

Tidak, bukan feminitas semacam itu yang kita butuhkan. Tapi feminitas orisinal seorang perempuan dengan segala pemahamannya atas hubungan antar manusia yang tidak bisa diabstraksikan dengan alasan apapun dan tidak bisa dibawahi oleh ideologi sesuci apapun. Singkat kata, harus kita akui bahwa jenis kepekaan afektif ini, secara alami, lebih mudah kita temukan pada seorang perempuan. Persoalannya, sejauh apakah kualitas kepekaan yang bisa melahirkan perhatian dan kasih sayang yang tepat arah ini dibutuhkan oleh bangsa dan negara ini dalam diri seorang presiden? Jawaban saya, secara politis, sepanjang sepuluh tahun ke depan.

Sri Mulyani Indrawati adalah perempuan dengan kualitas pemimpin. Ideologi kasar yang mendasari sikap kita yang negatif terhadap perempuan pemimpin, tanpa harus direcoki dengan argumen kaum feminis yang kebanyakan tampak tolol juga, adalah ideologi yang seringkali terbukti memiliki banyak energi ketololan. Dengan memilih meletakkan perempuan pada daftar nilai preferensi kita, ada upaya yang keras bagi kita untuk melihat bahwa kita tidak hanya perlu melakukan politically correct terhadap isu-isu gender, tapi juga menunjukkan bahwa memang ada yang kita butuhkan dari seorang perempuan di dalam atau di luar identitas seksualnya.

Saya tidak mencari argumentasi dari gagasan persamaan gender kaum feminis untuk mendukung keharusan memilih Sri Mulyani Indrawati sebagai presiden. Saya justru melihat bahwa keharusan itu didorong secara keras oleh kenyataan bahwa perempuan memang berbeda dalam banyak hal dengan laki-laki. Di dalam perbedaan inilah keperempuanan itu justru dibutuhkan untuk membawa bangsa ini menuju arah yang lebih baik berdasarkan urgensi permasalahan kita. Meskipun analogi orang tua-anak tidak terlalu saya sukai dalam melihat hubungan presiden dan rakyat, tapi bisalah untuk saat ini saya pergunakan dalam menyederhanakan argumentasi saya. Seperti ketika saya lebih membutuhkan ibu saya dalam suatu masalah tertentu dan dalam masalah lain saya lebih membutuhkan bapak, begitu juga saat ini kita sedang berada dalam lingkar permasalahan yang membutuhkan kepemimpinan ibu dan bukan bapak. Dan ibu itu adalah Sri Mulyani Indrawati.

Sri Mulyani Indrawati bukan politisi

Saya tidak anti-politik, tapi saya sadar bahwa negara kita berada dalam tahap politisasi yang keterlaluan. Tidak ada bagian dari problem bangsa ini yang tidak dipolitisasi. Sejak dari kesengajaan hingga menjadi konsekuensi yang nyaris alami, politisasi berlangsung dalam semua ranah kehidupan berbangsa kita. Dalam kasus Indonesia, politisasi itu bisa dipahami dari dua sudut pandang, pertama, trauma ketidakbebasan politik masa lalu yang berujung pada pesta orgy politik dan, kedua, pemberian kekuasaan yang terlalu besar pada anggota DPR dan DPRD yang tidak diimbangi dengan mekanisme pendidikan dan seleksi untuk melahirkan anggota DPR dan DPRD yang genah. Memang, tidak ada yang paling memuakkan saya dalam panggung politik republik ini sekarang seperti tindakan para anggota DPR dan DPRD itu.

Politisasi di republik kita ini telah sampai pada tahap yang merusak akal sehat. Namun cara melawannya bukan lari dari politik, tapi dengan melakukan penyebaran gagasan dan tindakan politik beretika. Politik, sebagai ilmu, gagasan maupun praktek, pada dasarnya adalah sesuatu yang mulia dan harus, tapi politisasi adalah pelancungan akal sehat. Demikian, misalnya, kita bisa melihat perbedaan antara pentingnya menjadi rasional dengan bahaya rasionalisasi. Dan tanpa harus melakukan penelitian yang terlalu mendalam kita bisa menunjuk hidung para politisi dengan segala maksud dan tujuan mereka sebagai motor penggerak terjadinya politisasi ini.

Selebihnya adalah ketidakmampuan yang parah dari para politisi untuk menyelesaikan banyak masalah nyata di republik ini. Maka meskipun jabatan presiden adalah jabatan politik, namun itu tidak berarti kursi kepresidenan harus diduduki hanya oleh seorang politisi. Mari katakan tidak pada ketidakbecusan, inefisiensi dan hi-cost policy. Dalam hal ini, nilai tertinggi dari standard preferensi kita untuk memilih presiden di masa datang adalah kapabilitasnya dalam menyelesaikan masalah bangsa, mengatur negara, dan memilih prioritas pembangunan. Politisi, dengan segala hormat pada mereka, hingga saat ini belum pantas untuk dipilih menjadi presiden.

Sri Mulyani Indrawati, dalam artian ini, bukanlah politisi. Tapi kita tahu bahwa dia bukan tidak memahami politik. Lebih dari paham, dia bahkan telah merasakan bagaimana berada dalam pusaran politik, mengalami politisasi, dan telah menolak untuk menegosiasikan keputusan profesionalnya dengan para politisi hingga mendapatkan fitnah politik. Beliau bukanlah politisi namun, saya percaya, sangat mengerti politik. Seperti beberapa tokoh profesional lain yang baik yang sekarang ada di tengah arus kekuasaan, beliau mengerti politik sebagai negosiasi kekuasaan yang didasarkan pada etika, akal sehat dan dialog argumentatif. Orang-orang seperti ini, dalam lapangan politik kita sekarang, memiliki satu gaya tersendiri yang mudah kita tuduh sebagai naïf.

Tapi bukankah “kenaifan” ini yang membuat kita bisa menyaksikan ketakutan para pemakan bangkai terhadap seorang Baharudin Lopa almarhum, untuk menunjukkan satu contoh bagaimana “kenaifan” ini telah melahirkan pahlawan tanpa membutuhkan retorika dan kampanye. “Kenaifan” ini juga yang terjadi saat Sri Mulyani Indrawati memutuskan untuk melakukan bail out terhadap Bank Century. “Kenaifan” yang dilandasi oleh pertimbangan profesional berdasarkan niat yang tidak perlu dikhutbahkan untuk mencari jalan keluar terbaik dari suatu permasalahan yang sesungguhnya melibatkan hajat hidup orang banyak yang melebihi argumentasi rabun dekat para politisi Senayan, yang jelas tidak paham ekonomi dan moneter, dengan mengatakan “kenapa tidak dibiarkan saja bank itu bangkrut?”

Terus mengikuti kasus Century akan kita temukan apa yang menjadi bagian penting dari argumentasi saya kenapa harus memilih seorang bukan politisi dalam membangun bangsa ini ke depan. Argumentasi yang diajukan oleh para politisi dalam pansus Century menunjukkan pada kita bagaimana perspektif politik yang selalu didorong oleh kepentingan kekuasaan jangka pendek mampu melakukan kriminalisasi terhadap sebuah kebijakan yang didukung oleh argumentasi profesional dan konstitusional. Membiarkan kepentingan politik dari para politisi (apalagi yang hitam, dan apalagi jika dia pengusaha atau membawa kepentingan pengusaha yang dimilyunerkan oleh sistem ekonomi kapitalisme despotik ala Orba) terus mengharu biru kinerja pemerintahan kita sama dengan membiarkan bangsa dan negara ini terpuruk lebih jauh dalam ketertinggalan, ketidakbecusan, konflik dan, tentu saja, pembodohan.

Sri Mulyani Indrawati bukan segalanya

Saya termasuk orang yang tidak percaya bahwa jika Sri Mulyani Indrawati tidak terpilih sebagai presiden pada tahun 2014 maka negara ini akan hancur atau mundur. Kemungkinan terburuk yang bisa saya pikirkan adalah bangsa ini akan berada dalam posisi stasioner selama sekitar lima hingga sepuluh tahun ke depan.

Sri Mulyani Indrawati bukan segalanya. Beliau hanyalah apa yang secara eksplisit telah tersebar dalam logika argumen di sepanjang tulisan ini, seorang yang merangkum ideal yang paling dibutuhkan bangsa dan negara ini dari kualitas seorang presiden untuk masa sekarang ini. Beliau adalah seorang “ekonom perempuan non-politisi”. Status yang jika terpencar menjadi hanya seorang ekonom, atau hanya seorang perempuan, atau hanya bukan politisi, tidak akan cukup untuk membuatnya layak menjadi presiden.

Sri Mulyani Indrawati bukan segalanya. Beliau hanyalah urgensi yang ditawarkan kepada kita oleh sejarah kekinian republik ini. Artinya, saya harus memilihnya karena ada yang penting untuk diselesaikan dari problem-problem bangsa ini. Hal-hal yang membutuhkan perhatian lebih dan penanganan segera. Yang mensyaratkan sekian kualitas dari siapa yang akan memimpin barisan eksekutif puncak negara ini untuk mengerjakannya. Yang jika tidak menjadi presiden dalam periode berikut, akan membuat republik ini berada pada posisi menunggu yang lebih lama.

Sri Mulyani Indrawati bukan segalanya. Karena itu saya tidak memilihnya sebagai kewajiban moral atau tuntutan ideologis. Saya hanya harus memilihnya karena itulah yang paling mungkin saya lakukan jika saya ingin memberi harga yang lebih tinggi terhadap akal sehat. Dan itulah juga cara yang paling mungkin bagi saya untuk membuktikan, setidaknya pada diri saya sendiri, bahwa saya masih perduli dengan nasib bangsa ini.

Sri Mulyani Indrawati bukan segalanya. Beliau hanya, sekali lagi, seorang “ekonom perempuan non-politisi” yang pernah dilahirkan oleh bangsa ini, yang dalam statusnya itu menjadi orang yang saya percaya akan membuat republik ini tak perlu menambah panjang masa penantiannya dalam mengejar apa yang diimpikan oleh para pemuda yang menculik Bung Karno ke Rengasdengklok 66 tahun yang lalu. Ya, beliau bukan segalanya kecuali apa yang saya sebut sebagai realitas yang mengharuskan saya untuk memilihnya sebagai presiden pada pemilihan presiden 2014 nanti.


Manado, Sepetember 16, 2011

Amato Assagaf
http://www.facebook.com/notes/amato-assagaf/sri-mulyani-indrawati-saja/282935321716602

0 komentar:

Label

Entri Populer

About Me