Jumat, 09 September 2011

SMI Kembali Terpilih Sebagai Perempuan Berpengaruh di Dunia

Srimulyani.net: Untuk ketiga kalinya, Majalah Forbes kembali menempatkan Sri Mulyani Indrawati (SMI) dalam daftar 100 perempuan paling berpengaruh di dunia. Bagi banyak pihak ia memang pantas ada dalam daftar tersebut. “SMI mengingatkan saya pada sosok Rachel Carson, seorang pejuang lingkungan hidup,” tulis Budi Widianarko di Jakarta Post (4/8). Ada pola yang sama antara SMI dan Carson, kata Guru Besar Universitas Katolik Soegijopranoto itu. Keduanya cerdas, dan harus berhadapan dengan kekuasaan korporasi.
SMI di mata Forbes
Di daftar yang dirilis Agustus 2011, SMI ada di peringkat 65, diantara Andrea Jung, CEO perusahaan kosmetik terkemuka Avon, dan Ann Curry, jurnalis TV terkemuka di Amerika Serikat, pembawa acara program pagi NBC yang populer, Today.
Sebelumnya di tahun 2008 SMI ada di posisi 23, dan setahun setelahnya ada di posisi 79. Ia adalah satu-satunya perempuan Indonesia yang masuk dalam daftar yang berisi perempuan-perempuan hebat yang kiprahnya membawa perubahan tidak hanya di negara tempat mereka berasal, namun juga di dunia.
Ini berarti, prestasi SMI disejajarkan dengan kanselor Jerman Angela Merkel, yang di tahun ini menjadi perempuan paling berpengaruh nomor satu di dunia, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Clinton, dan Presiden Brazil Dilma Roussef.
Forbes menyebutkan sejumlah prestasi SMI, mulai dari jabatannya saat ini sebagai Managing Director World Bank yang bertanggung jawab atas wilayah Amerika Latin, Asia Timur, Kepulauan Karibia, Timur Tengah, dan Afrika Utara, keberhasilannya melakukan reformasi di departemen yang dipimpinnya ketika masih menjabat sebagai menteri keuangan Indonesia, dan sikapnya yang berani dalam mengambil kebijakan ekonomi pro-rakyat. Forbes juga menulis, pendekatan reformis yang dilakukan SMI menyebabkan ia punya banyak musuh, dan para kritikus menyebut kepergiannya ke World Bank adalah hasil dari tekanan politik.
Sedikit tentang Rachel Carson
Rachel Carson adalah seorang aktivis lingkungan hidup Amerika Serikat (AS), yang dinobatkan Time sebagai salah satu pemikir paling berpengaruh abad 20. “SMI mengingatkan saya akan Rachel Carson,” kata Budi Widianarko, Guru Besar Universitas Katolik Soegijopranoto di The Jakarta Post (4/8).
Pada 1962, Carson menerbitkan buku The Silent Spring (TSS), yang mengingatkan bahaya pestisida bagi kehidupan di bumi. Buku ini dikatakan Budi Widianarko mengilhami lahirnya gerakan lingkungan hidup di Barat. Sebagian aturan terkait perdagangan bahan kimia di AS, dan internasional, soal pelarangan penggunaan 12 pestisida berbahaya, termasuk berdirinya Badan Perlindungan Lingkungan Hidup (EPA) di AS pada 1970, diyakini adalah buah dari TSS.
Perjuangan Carson bukan tanpa hambatan. Industri kimia AS ketika itu melawannya habis-habisan, menyerangnya lewat jurnal-jurnal dagang dan pertanian, bahkan mengancam media. Carson pun diserang secara pribadi, ia dicap sebagai “perempuan yang histeris.”
Menariknya, serangan-serangan tersebut diabaikan oleh publik. Mereka justru mempercayai fakta-fakta yang dimuat dalam TSS, bahkan buku itu menjadi sangat populer, dan dikatakan sebagai salah satu buku yang mempengaruhi jalannya sejarah dunia.
Persamaan Dengan SMI
Budi Widianarko mengatakan, ada pola yang sama antara SMI – yang diserang lawan-lawan politiknya karena sikap reformisnya, dengan Carson. Keduanya cerdas. Mereka menghadapi musuh yang sama: kekuasaan (politik) korporasi. Lawan-lawan mereka tanpa kenal ampun memakai media untuk menghancurkan keduanya.
Dalam kasus Carson, media “hanya” diancam akan diboikot iklannya; dalam kasus SMI lebih radikal lagi: media tanpa ampun menyuarakan kepentingan pemiliknya.
Perubahan yang diperjuangkan Carson dan SMI mengancam fondasi vital kekuasaan korporasi. Carson memerangi produksi bahan kimia yang mendatangkan banyak laba, SMI memprakarsai reformasi birokrasi dan bertindak tegas untuk menghambat kerakusan korporasi.
Keperempuanan Carson dan SMI dipandang sebagai sasaran empuk oleh para penyerangnya. Keduanya diolok-olok secara kasar, termasuk penggambaran SMI sebagai drakula dan makhluk-makhluk jahat lainnya dalam poster-poster para demonstran. “Pengadilan” SMI oleh anggota dewan, dan membayangkan bahwa nasibnya berada di tangan SBY dan Ical, dikatakan oleh Budi Widianarko sebagai representasi pertempuran antara laki-laki dan perempuan.
Memang sampai saat ini, hasil dari perjuangan dua perempuan ini berbeda, kata Budi Widianarko. Tidak lama sesudah terbitnya The Silent Spring, publik dan pemerintah AS mengalami ‘kebangkitan’ kesadaran lingkungan, yang membuahkan beberapa perubahan kebijakan, undang-undang, dan perilaku.
Pemerintah AS saat itu cukup berani untuk menentang korporasi. Seraya waktu berlalu, individu-individu dengan etika lingkungan akhirnya bermunculan dalam korporasi itu sendiri.
Di akhir tulisannya, Budi Widianarko melontarkan pertanyaan, bagaimana dengan Indonesia? Akankah sesudah kepindahan SMI ke Washington, negeri ini bangkit melawan hegemoni yang ada? Berdirinya Partai Serikat Rakyat Independen (SRI) tampaknya menjadi titik terang bahwa jawabannya adalah “Ya”. 
( Diolah oleh Efika Rosemarie)

0 komentar:

Label

Entri Populer

About Me