Sabtu, 03 Maret 2012

“We Never Give Up To Love Our Country”

Sri Mulyani Bicara Gender dan Kepemimpinan Perempuan.

Hasil wawancara dengan Gadis Arivia (Pendiri Yayasan Jurnal Perempuan).
saya menemui Sri Mulyani Indrawati untuk berbincang-bincang soal kepemimpinan perempuan, lessons learned ketika ia menjadi Menteri Keuangan dan korupsi di Indonesia. Sri Mulyani tampak santai, penuh gelak tawa meski substansi pembicaraan sangat serius. Suhu udara di luar sangat dingin, kopi hangat yang menemani pembicaraan kami terasa sungguh nikmat. Kalimat demi kalimat terus meluncur dari perempuan yang telah beberapa kali dinobatkan sebagai “perempuan yang sangat berpengaruh” di dunia. Baru-baru ini harian bergengsi LeMonde, Perancis, menjulukinya “Sosok dari Indonesia yang memenuhi semua persyaratan: pengalaman, karisma, integritas yang berkilau bagaikan emas… dan layak untuk diajukan sebagai calon pemimpin Bank Dunia maupun presiden Indonesia menggantikan presiden Susilo Bambang Yudhoyono.” Percakapan di sore hari, 16 januari 2012 itu menguatkan lagi ucapannya ketika politik memaksanya mundur dari pemerintahan: “Jangan pernah berhenti mencintai Indonesia”.

Apa lessons learned terpenting yang anda dapatkan dari pengalaman anda menjabat sebagai Menteri Keuangan?
Sebelum menjabat Menteri Keuangan, saya adalah Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), dan menurut saya dua kementerian itu very powerful, karena bisa mengalokasi semua anggaran. ]adi, saya sudah paham sewaktu masuk Kemenkeu bahwa power to appropriate anggaran itu sangat besar untuk disalahgunakan dan bisa terjadi salah kelola. Di Kemenkeu ada UU No. 17,2A03, lebih memperjelas kekuasaan menteri yang besar dalam mengelola keuangan negara. Kalau power tanpa ada akuntabilitas, tanpa ada transparansi, maka kemungkinan untuk korupsi atau abuse of power besar terjadi. jadi, memang dari awal saya sudah menyadari bahwa power di dalam keuangan negara harus transparan, dibuat sedemikian rupa untuk melenyapkan godaan praktek korupsi. Juga tentu melibatkan praktek tata kelola pemerintahan yang baik.
Apakah ada resistensi ketika anda melakukan reformasi di Kemenkeu?
Selalu ada, meskipun resistensi dengan cara berbeda-beda. Memang  tidak semua orang suka. Istilahnya di Kemenkeu “tersesat di jalan yang  benar beramai-ramai”. saya ingin menunjukkan bahwa ini bukan reformasi saya sendiri tapi reformasi Kementerian Keuangan. Di sini, leadership sangat berpengaruh. Saya mendisiplinkan staf dengan mengadakan rapat mingguan dan wajib datang. Mereka dipaksa untuk melakukan pelaporan kalau mereka bilang sulit, saya tanya sulitnya apa dan dimana? Pertemuan-pertemuan rutin saya adalah pertemuan breakfast meeting, setiap hari Selasa.
Tapi pointnya adalah mereka dipaksa untuk selalu bertemu dan membuat observasi dan buat keputusan bersama. Dan saya sering membuat hal-hal di luar kebiasaan di birokrasi. Kalau ada masalah sulit, mereka bilang ini bukan domain kita, kita panggil konsultan saja. Saya bilang nggak ah, kita pikirkan dulu sendiri, tapi kalau ada yang spesifik dan teknis baru mencari konsultan. Kita pikirkan sendiri logikanya dulu. Semua ada logikanya. Pesan saya adalah agar birokrat aktif mereformasi dirinya sendiri, sementara tugas kita sebagai pernimpin
adalah memastikan sisi delivery dan result, dan harus bisa terukur. Contoh, kalau pelayanan publik di Kemenkeu membutuhkan 30 hari, bisa tidak hanya 7 hari? Misalnya, kalau tidak pakai duit bisa tidak? Contohnya, mencairkan uang, dulu selalu ada orang yang menunggu
di luar, biasanya office boy yang bertanya: ” mau cepat pak?” Kemudian dibawa ke dalam. Orang-orang, office boy ini dipelihara oleh kedua belah pihak, yarrg makai maupun yang kerja. Jadi untuk mereformasi front office saja, cleaning up seperti itu membutuhkan suatu pengorbanan yang sangat besar karena menghilangkan begitu banyak orang. Berapa meja yang harus dilalui? Berapa lama waktu untuk mengurus urusan? Apakah data terdata rapih? Kadang saya masih belum puas saya harus datang ke kantor-kantor incognito (menyamar) dan mengawasi cara mereka melayani. Artinya, kita sebagai pemimpin harus tunjukkan kepada mereka bahwa kita konsisten, bahwa I really mean it dan ada resultnya. Itu harus terus menerus dilakukan.
Apakoh anda melakukan reformasi juga dalam hal menggunakan pendekatan gender saat anda menjabat?
Apu yang disebut konsep gender di dalam governance memang belum ada. Kecuali lebih bersifat stereotyping, misalnya, bahwa perempuan dalam memimpin lebih rapih, teliti, berpikir jangka panjang. Tapi sebetulnya governance yang memperhitungkan konsep gender itu contohnya begini. Di dalam concrete solution harus nyata, misalnya design crash transfer untuk orang-orang miskin itu harus dipikirkan rancangannya. Saya sewaktu di Bappenas mengatakan, penerima uang harus perempuan, tidak boleh suaminya karena sudah banyak studi yang mengatakan bahwa kalau perempuan mengelola uangnya akan lebih baik dan akan digunakan untuk anaknya. Dengan memahami konsep pendekatan gender ini maka program akan efektif. Mungkin kalau menterinya tidak memahami pendekatan gender maka rancangannya tidak akan memperhatikan hal-hal ini.
Hal-hal lain adalah soal kaderisasi, soal perempuan menempati posisi-posisi pemberi keputusan. Misalnya, waktu itu di Kemenkeu eselon 1, tidak ada perempuannya. Sewaktu zaman Pak Boediono memang ada tapi dia pensiun dan beranjak ke kantor Wapres. Kita kemudian tidak punya lagi eselon 1. Lalu, di eselon 2 sangat sedikit porsinya. Jadi, kalau saya ingin ada eselon 1 tahun ini umpamanya, saya tidak bisa dapatkan karena pipe linenya tidak ada. Pertanyaan kenapa tidak ada? Apakah karena didiskriminasi? Atau karena perempuan pada titik-titik kritis saat berada di karier menengah, dia kemudian punya anak dan di situ mulai muncul pilihan-pilihan sulit. Apa harus di rumah mengurus anak? Atau dengan beban lebih banyak bekerja di Kemenkeu lebih sulit bagi perempuan karena harus ditempatkan di daerah? Ini bisa jadi alasan karena menjadi pengorbanan besar, karena berpisah dengan keluarga. Jadi, dimensi untuk mempromosikan perempuan harus dibangun dari bawah, harus dikenali masalahnya, institusinya harus bisa meringankan beban perempuan yang tidak memiliki pilihan. Artinya, harus dipikirkan soal tempat penitipan anak, dan sebagainya.
Bagaimana soal masyarakat yang tidak mendorong perempuan untuk maju di dalam kariernya, oapa yang harus dilakukan pemimpin?
Terus terang agak sulit kalau masyarakat tidak mau kasih dukungan. Meski kadang ada dukungan pekerja domestik dan keluarga besar membantu, tapi tetap saja perempuan ada saja kendalanya apalagi kalau dia memiliki beban tanggung jawab yang berat dan harus selalu berpergian atau pindah-pindah. Jadi, kita sebagai pemimpin harus paham soal kesulitan-kesulitan yang dihadapi perempuan dan kemudian merancang kebijakan-kebijakan yang sensitif gender. Sampai hari ini saya masuk di dalam tim Hillary Clinton untuk mempromosikan kesetaraan gender secara international dengan Cherie Blair (istri mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair). Di dalam tim itu, kita memikirkan soal kendala-kendala perempuan dari segi sosio-kultural, kita memikirkannya secara mendunia.
Jadi, apa yang anda sudah lakukan untuk meningkatkan kesetaraan gender di pemerintahan?
Saya intervensi langsung. Umpamanya, saya mengatakan untuk promosi ke eselon 2 saya minta harus ada perempuan yang dipromosikan. Misalnya kalau ada promosi 10 post, harus ada salah satunya perempuan. Jadi, mereka dipaksa untuk mencari kader perempuan. Kalau tidak ada perempuannya saya tidak mau melakukan kenaikan pangkat. Pemaksaan seperti ini menurut saya bagus karena kadang-kadang perempuan suka nerimo dan banyak mereka merasa tidak bisa bersaing dengan rekan prianya untuk mendapatkan jabatan yang diinginkan. Jadi memang harus ada afirmative action.
Kalau misalnya di eselon 1 saya tidak bisa dapat karena masalah tingkatannya tidak ada, maka saya akan mengambil dari luar. Saya pernah mengambil dari Bogor, sekarang Ibu Anny menjabat wakil menteri. (Pada tanggal 8 Juli 2008, Anny Ratnawati dilantik Sri Mulyani sebagai Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan-red). Jadi, kita ingin menunjukkan kalau perempuan yang ditunjuk duduk di suatu jabatan memang karena dia kompeten dan layak, sama seperti laki-laki.
Contoh nyata lain, ketika ada masalah di Departeman Keuangan, let say, di Dirjen Pajak, itu kan semua diketuai oleh laki-laki. Waktu itu memang ketuanya bersalah karena membiarkan atau memberi toleransi pada kesalahan-kesalahan yang terjadi dan akhirnya saya ganti dengan Dirjen perempuan, Ibu Catur namanya. Dia sosok yang bersih, lurus dan tegas. Kadang memang tidak disukai orang karena orangnya sangat lurus. Tapi reputasinya bagus.
Di Priok, saya pernah kecewa karena tidak ada satu pun Kanwilnya yang perempuan. Tapi waktu saya bersihkan Priok, saya majukan perempuan dan sekarang dia memimpin Cengkareng. Tentunya contoh-contoh di atas masih kecil karena masih berupa exception dan
bukan norm, tapi menurut saya harus dimulai.
Apakah perempuan ketika diberikan kesempatan menjabat lebih bersih dari laki-laki?
Tidak selalu ya. Sekarang ada kasus-kasus perempuan terlibat dalam kasus korupsi dan itu selalu di blow up di media. Artinya, Pengalaman perempuan memegang jabatan tinggi memang masih terbatas dan bila ada yang melakukan korupsi selalu menjadi berita besar. Ketika saya menjabat dan berinteraksi dengan DPR, waktu itu saya lihat ketua Komisinya laki-laki, ketua Budgetnya laki-laki, ketua Fraksinya laki-laki, mereka biasanya sangat agresif. Tapi begitu diganti perempuan bukan berarti mereka lebih baik, karena yang perempuan melakukan persis yang dilakukan oleh laki-laki. Jadi artinya, dia (perempuan-red) tidak membawa angin perubahan for being perempuan. Kadang menurut saya, bisa jadi perempuan lebih rentan karena perempuan itu lebih kelihatan dari sisi penampilannya, cara berpakaiannya, dan sebagainya. Meski yang laki-laki misalnya anggota DPR yang laki-laki itu, saya perhatikan mulai dari baju, sepatu, dasi, dan sebagainya, semua bermerek dan rasanya tidak akan bisa dibiayai hanya dengan gaji. Perempuan yang menjadi anggota DPR juga sama, perhiasan segede biji pete, itu bisa menimbulkan sikap yang sinis dari masyarakat terhadap anggota DPR.
Jadi, Indonesia menurut saya untuk masa-masa reformasi ini, agak sulit mengatakan bahwa faktor komitment terhadap tata kelola pemerintahan yang baik, tidak bisa dibedakan berdasarkan jenis kelamin, perempuan dan laki-laki. Karena dunia politik itu sangat keras dan didominasi oleh laki-laki. Yang saya khawatirkan perempuan in order for them to be exist dan survive, mereka berpikir harus melakukan permainan yg dilakukan oleh laki-laki. Apakah memang harus begitu? Menurut saya tidak. Saya bisa survive dan bisa melakukan pekerjaan saya dengan bertanggung jawab dan diakui karena saya memilih untuk bertanggungiawab. ]adi, ini benar-benar masalah pilihan.
Tapi memang masalahnya bukan soal jenis kelamin, tapi soal kesadaran gender, kesadaran gender berarti punya kesadaran minoritas dan kesadaran untuk kebutuhan orang miskin, dan sebagainya, bagaimona menurut anda?
Perempuan memang banyak yang juga buta pada kesadaran gender, hak-hak minoritas, terhadap orang-orang yang masih kurang beruntung situasinya. Sangat tergantung pada bagaimana mereka dididik dan dibesarkan. Kita berkalkulasi bahwa perempuan relatif reseptif karena mereka by design lebih sensitif. Menurut saya emotional judgementnya lebih besar, jadi bisa memunculkan empati yang lebih nyata. Saya rasa itu, modal untuk afirmative decision untuk meniadakan diskriminasi. Seperti pemimpin Bank Dunia, Zoellick, kesadaran gendernya sangat besar, dia tidak akan bisa menerima proposal naik pangkat kalau tidak ada perempuannya. Dia mendisiplinkan anak buahnya untuk mempromosikan perempuan duduk dalam posisi penting dari negara-negara berkembang. Itu karena dia punya kesadaran gender.
Adakah bedanya meniadi pemimpin perempuan secara skala nasional dan internasional?
Ada. Bedanya kalau di level nasional, kita bisa mengontrol apa yang ingin kita perjuangkan, misalnya, ingin membangun sekolah supaya tidak ada lagi sekolah-sekolah buruk, menekan angka kematian ibu. Jadi ada target jelas dan kemudian merancang anggaran yang dibutuhkan. Kita punya kontrol dan bisa mempengaruhi mereka yang masih berpikir tradisional untuk bisa berubah dan punya kontrol implementasi anggaran agar tidak menyimpang. Sedangkan di level internasional, karena Bank Dunia beroperasi di lebih dari 130 negara, maka kita bisa membandingkan dengan negara-negara lain, mana yang sukses mana yang tidak. Misalnya, dulu negara-negara seperti Australia dan Korea juga meminjam ke Bank Dunia dan sekarang mereka bisa maju. Tapi ada negara-negara yang masih saja meminjam dan sulit untuk keluar dari kemiskinan. Bank Dunia itu tidak saja memberikan uang pinjaman untuk pembangunan tapi jugu memberikan pengetahuan dan mengembangkan pengetahuan. Tapi memang keterbatasannya, kita tergantung dengan pemerintah setempat, bagaimana mereka mengelola uang pinjaman tersebut, apakah ada akuntabilitasnya dan digunakan untuk hal-hal yang tepat atau tidak? Jadi, sekali lagi tergantung pemerintah setempat bagaimana menggunakan uang-uang pinjaman ini. Hal ini menggambarkan bagaimana tujuan pembangunan itu kaya dimensi. Kepemimpinan yang kuat di tingkat nasional dan lokal itu sangat penting dalam hal ini.
Apakah ada perbedaan sebagai pemimpin perempuan di Bank Dunia dan di negeri sendiri?
Ada, ada banget. Ada bangetnya begini, sewaktu saya menjadi menteri, kan itu jabatan politik ya. Yang terasa perbedaannya bagi saya adalah soal tata krama, artinya, soal buju, (Sri Mulyani tertawa lepas). Di pemerintahan di Indonesia baju itu sangat diatur, ada dress code yang terus terang sebagai perempuan menambah beban. Kapan harus pakai baju batik, baju nasional, baju dinas, rese deh. Jadi ada protokolnya. Sedangkan di Bank Dunia tidak pernah ada dress code, terserah mau pakai apa. Tentu saja kita mengukur diri sendiri. Misalnya, teman saya yang di level eksekutif dan berasal dari Nigeria, dia tiap hari bisa pakai baju Nigeria. Intinya, baju tidak menjadi beban. Juga, etika sangat dijunjung. Saya tidak mengatakan bahwa tidak ada pelecehan seksual, tapi soal pelecehan seksual diakui dan dibicarakan dan ditindak. ]adi, orang tidak bakal dilecehkan karena bajunya beda, pakai rok mini, tidak pakai lengan baju (sleeveless), itu hak dan itu hak kita sepenuhnya tanpa harus dihakimi hanya berdasarkan penampilan kita. Harusnya orang dihakimi berdasarkan pikirannya, bukan penampilannya. Ini kita belum bicara soal orientasi seksual yang beda, itu masih ditutup-tutupi di negara kita. Masih jauh.
Saya mau kembali pada nilai-nilai yang anda ucapkan ketika anda memberikan pidato etika kepemimpinan di P2D, saat anda baru saja mengundurkan diri dari jabatan menteri. Anda menggarisbawahi tiga hal yaitu soal tidak menghianati kebenaran, tidak mengingkari hati nurani dan menjaga martabat diri. Mengapa anda mengatakan itu?
Pidato itu harus diletakkan di dalam konteksnya. Sewaktu saya mengundurkan diri saya hanya mau menegaskan bahwa saya tidak kalah, saya tidak lari dan I don’t and I didn’t feel defeated. Saya tidak kalah, karena definisi dari menang dan kalah, atau tinggal dalam garis perjuangan, bertolak dari nilai-nilai yang ada dalam diri saya sendiri. Saya bekerja bukan untuk mendapatkan pujian dari presiden atau media massa, saya rnelakukan pekerjaan saya karena kepercayaan dan kewajiban saya sebagai manusia. Saya punya harga diri dan martabat dan panggilan tertinggi manusia adalah kemuliaan. Dia tidak bisa mengkhianati nuraninya. Jadi itu konteksnya. Itu konteks keputusan saya. Nah, kita juga tahu bahwa suasana didominasi oleh laki-laki, semua ketua partai politik laki laki kecuali satu partai dipimpin oleh perempuan. Yang disebut kolaborasi, kolusi atau kerjasama, itu dilakukan oleh laki-laki, dan saya mengatakan itu dengan bercanda pada malam pidato saya, bahwa adanya suatu “perkawinan” antara dua laki-laki, perkawinan politik kan sama saja.

Untuk menyelamatkan siapakah keputusan itu?

Sebetulnya keputusan itu bukan untuk menyelamatkan saya, tapi seluruh reformasi di Kementerian Keuangan. Karena pada saat itu saya dijadikan target personal, saya diserang setiap hari, nama, gambar saya setiap hari ada di publik. Hal-hal seperti ini tentu menyebabkan seluruh upaya memperbaiki Kemenkeu dan program-programnya tidak diperhatikan karena orang hanya fokus pada saya. Mereka tidak lihat lagi pekerjaan kita misalnya hal-hal seperti Gayus, hal-hal yang sudah kita perbaiki dan evaluasi. Ada orang-orang dari luar yang mencoba defeating atau weakening gwernance karena orang hanya melihat ini persoalan Sri Mulyani. Jadi, keputusan untuk mundur itu sangat tepat karena saya yakin ada orang-orang di Kemenkeu, yang dapat dan mau committed melakukan reformasi. Dan juga bagi presiden tidak terbebani oleh saya yang terus menerus diserang dan dilihat sebagai sumber masalah.
Kita ini, saya dan teman-teman di Departemen Keuangan selama 5 tahun lamanya memperiuangkan tata kelola yang baik dan menolak korupsi karena kita sadar kita bagian dari pilar yang kuat dan bagian penting dalam membangun republik ini. Dengan cara apa? Dengan
cara membersihkan birokrasi, memperbaiki kompetensi birokrat, membersihkan tingkah laku yang buruk, mengedepankan transparansi, membiasakan membuat laporan kepada masyarakat sehingga masyarakat bisa mengontrol kita. Tapi itu semua hilang karena pada saat seluruh permainan politiknya ditujukan kepada saya, pemerintah tidak dapat berfungsi. Saya rasa itu alasan saya. Nah, waktu itu saya tidak bisa lagi menciptakan perubahan karena saya sudah diserang secara pribadi.
Mengapa anda diserang secara pribadi? Bukankah yang anda lakukan, bukan menyerang pribadi misalnya Aburizal Bakrie, tapi karena anda menyerang korupsi, kolusi dan pengemplangan paiak?
Sebenarnya soal ini saya tidak mau membicarakan lagi. Apa yang saya lakukan berdasarkan undang-undang, mandat dari konstitusi kita, ada peraturan-peraturannya. Di Kemenkeu memang kita berhubungan dengan perusahaan karena mereka membayar pajak, atau ada masalah-masalah yang kebetulan barangnya ditahan oleh bea cukai, atau perusahaan mereka diaudit atau perusahaan mereka ada di dalam daftar Bapepam. Saya tidak bisa memperlakukan orang dengan khusus, atau perorangan, karena bisa membahayakan seluruh sistim atau kepercayaan terhadap kita akan terancam. Saya tidak bisa entertain agar semua orang senang sama senang, tidak mungkin saya melakukan itu. Kalau saya melakukan itu, Indonesia tidak akan mencapai seperti sekarang dengan nilai investasi yang baik dan pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen. Memang masih banyak yang mengeluh tentang banyak hal dan masih banyak yang harus diperbaiki. Tapi kita sudah mulai reformasi dan sudah mulai komit.
Saya konsisten untuk perjuangan dan konsisten untuk menghalau kelompok-kelompok yang berkepentingan yang mau membajak kepentingan nasional untuk kepentingan perusahaan atau perorangan. Nilai kepercayaan itu priceless. Kepercayaan pada Menteri Keuangan oleh publik itu sesuatu yang luar biasa, dan suatu pencapaian penting, itu yang diidam-idamkan oleh Menteri Keuangan manapun. Kalau dia Menteri Keuangan yang benar, dia tidak akan korbankan itu. Saya sekarang sudah di dunia internasional dan sudah banyak Menteri Keuangan yang mengundurkan diri pada saat dia tahu kalau dia dipaksa untuk melakukan sesuatu yang berdampak pada kredibilitas dia atau kredibilitas policynya, maka runtuhlah seluruh kepeercayaan itu. Dan itulah yg dipertaruhkan, sangat mahal. Saya rasa setiap perusahaan dan pengusaha atau orang perorangan mengetahui itu, ada yang menerima sebagai suatu kesadaran, “well menteri keuangan ini memang stick to the rule,” dan ada yang tidak.
Saya rasa itu. Saya rasa kalau kita mencintai negara ini dan saya selalu mengatakan kepada anak buah saya, “walaupun sulit walaupun tidak gampang, kadang-kadang penuh dengan perasaan pengorbanan, tapi we never give up to lover our country.” Kita tidak pernah putus asa mencintai Indonesia. Itu terjemahannya adalah pada saat kita dihadapi kasus yang riil, pilih kepentingan, negara atau pribadi, sedekat apapun orang ini pada kita, apakah teman kita, bahkan saudara kita atau bahkan suami sendiri, kita harus tahu kapan kita harus meletakkan kepentingan negara di atas kepentingan kita secara pribadi. Pilihan saya adalah kepentingan negara, menjaga kedibilitas, menjaga seluruh masyarakat, saya tahu rakyat mengharapkan pejabat yang stick to the rule. Saya tahu mereka tidak mau dikhianati dan saya tidak mau menghianati mereka. Jadi no regret.
Tak terasa kami sudah berbincang-bincang lebih dari dua jum, dan hari semakin malam. Sri Mulyani masih ada pertemuan lagi untuk silahturahmi dengan kelompok masyarakat Indonesia lainnya, Dia memang pribadi yang selalu menginspirasi, dan menyediakan waktunya untuk siapapun, meski dia begitu sibuk dengan perkerjaannya. Dengan menjinjing beberapa buku yang ia baru beli dari toko buku, bersama suaminya dia pergi ke pertemuan berikutnya. Perempuan yang baru saja meninggalkan saya adalah seorang yang berintegritas, Pribadi yang bukan saja dikagumi di dalam negeri, tapi juga mancanegara. Tentu Sri Mulyani adalah kebanggaan bagi perempuan Indonesia.***
.: Tulisan ini diambil dari Jurnal Perempuan edisi 72.

0 komentar:

Label

Entri Populer

About Me